Selasa, 08 Maret 2011

Rakyat Cerdas Memilih Pemimpin Berkualitas


Proses demokrasi yang terus bergulir di Republik ini telah mencatat sejarah baru yaitu berupa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang dilakukan secara langsung. Siapapun yang terpilih dalam hal ini akan lebih ditentukan oleh kuantitas (jumlah) suara rakyat pemilih dan bukan oleh rekayasa politik yang dilakukan oleh sejumlah elite partai yang mencoba melakukan segala macam jurus strategi yang dikenali dalam literatur politik praktis. Mulai dengan perekayasaan segala macam poros kekuatan dari model koalisi, aliansi, sampai kolaborasi yang berujung pada pembagian kursi. Sebuah strategi ”politik dagang sapi” yang dalam proses demokrasi masa lalu terasa efektif dijalankan di tingkat elite politik --- baik di tingkat partai politik maupun perwakilan mereka di legislatif (DPR/MPR) --- namun macet total manakala proses pemilihan presiden kemudian dilakukan secara langsung seperti yang telah dua kali dilaksanakan seperti dijumpai di Pemilu 2004 dan 2009 yang lalu.


Berbeda dengan mekanisme Pilpres konvensional; maka untuk jabatan RI1/RI2 tidak lagi ditentukan lewat proses pemilihan berdasarkan ”demokrasi perwakilan” yang dilakukan oleh para wakil rakyat di MPR seperti yang kita kenali sebelumnya. Pilpres 2004 dan 2009 sungguh sangat berbeda dibandingkan dengan pilpres-pilpres sebelumnya. Perbedaan yang paling mendasar terletak pada proses pemilihan langsung berdasarkan prinsip ”vox populi, vox dei”. Suara rakyat, suara Tuhan. Sebuah proses demokrasi yang menekankan benar asas egaliter --- dimana setiap orang memiliki suara yang sama --- tidak peduli apapun derajat kehidupan mereka dalam strata sosial yang ada (one person, one vote, one value). Suara rakyat yang betul-betul dijadikan dasar untuk menentukan maupun menolak siapa-pun yang dianggap layak atau tidak layak dipilih menjadi pemimpin atas dasar pertimbangan yang hanya mereka (rakyat) sendiri yang tahu. Rakyat cerdas memilih pemimpin yang berkualitas, meskipun tidak bisa dipungkiri masih banyak pula rakyat yang memilih berdasarkan ikatan emosionalitas. Begitu kira-kira esensi demokrasi yang ingin diimplementasikan dalam Pilpres 2004 maupun 2009.


Demokrasi sering didefinisikan sebagai pemerintahan atau kekuasaan (cratos) yang dipilih oleh rakyat (demos), dari rakyat, dan untuk kepentingan rakyat itu sendiri. Bukan persoalan yang mudah untuk mencapai legitimasi kekuasaan yang didukung oleh mayoritas rakyat. Dalam hal ini diperlukan mekanisme pemilihan yang mampu merefleksikan dukungan tersebut; tidak peduli apakah harus melalui proses pemilihan langsung ataupun dengan sistem perwakilan --- dimana suara rakyat akan dititipkan melalui “wakil-wakil”nya --- yang jelas suara terbanyak akan menentukan siapa yang paling layak. Tolok ukur suara terbanyak memang tidak selamanya akan mencerminkan kualitas hasil pemilihannya. Untuk itu diperlukan rasionalitas sebagai landasan dan ukuran untuk menentukan pilihan seorang pemimpin.


Tulisan ini tidaklah bermaksud untuk mempersoalkan kembali proses demokrasi seperti apa yang seharusnya diimplementasikan, dan mekanisme pemilihan yang bagaimana yang bisa menjamin terpilihnya seorang pemimpin (presiden) yang credible dan acceptable. Apa yang ingin diwacanakan dalam tulisan ini lebih menitik-beratkan pada faktor individu calon pemimpin seperti apa yang di-ideal-kan dan diharapkan oleh bangsa yang sedang dilanda nestapa dengan aneka macam persoalan yang tak kunjung teratasi secara nyata. Ditengah-tengah begitu banyak tantangan yang masa depan; bangsa ini dihadapkan pada ”stock” figur calon pemimpin yang memiliki karakteristik dan track record kepemimpinan yang apa adanya, dan terkadang jauh dari selera umum. Hasil pemilihan umum presiden/cawapres (pilpres) pada 2004 dan 2009 kemarin telah menghasilkan sebuah skenario optimal seperti yang telah diprediksi oleh banyak kalangan mulai dari pengamat sampai ke elite politik sendiri. Kebetulan menghasilkan figur pemimpin (Presiden) yang sama, meskipun dengan pasangan yang berbeda. Skenario maksimal (ideal) memang dari mula tidak begitu meyakinkan akan bisa diperoleh, namun yang lebih patut untuk disyukuri adalah skenario minimal (terburuk?) telah bisa dihindari untuk tidak terjadi.


Terpilihnya Presiden SBY sebagai ”inkumben” seharusnya bisa memantapkan dan melanjutkan kebijakan maupun program-program yang tidak/belum sempat dituntaskan di periode masa jabatan sebelumnya. Slogan LANJUTKAN dan TUNTASKAN yang pada saat masa kampanye Pilpres 2009 begitu bergaung keras dan mampu mendulang suara banyak (lebih dari 60%) mestinya bisa dipakai sebagai modal kerja bagi rezim pemerintah yang berkuasa secara lebih efektif. Namun, alih-alih mampu mengakselerasi roda pemerintahan, justru yang terjadi malah jalan alot kalau tidak mau dibilang macet tak juga beranjak maju. Presiden SBY dengan KIB II justru ”terjebak” dengan strategi koalisi (partai pendukung) melalui SetGab yang diciptakan sendiri. Kabinet Presidensiil tak pelak gak beda modelnya dengan Kabinet Parlementer. Kepentingan pragmatis dan intrik (manuver) politik jauh lebih dinamis menggiring roda pemerintahan menuju sasaran dan target kepentingan masing-masing partai pendukung, dibandingkan dengan kepentingan mensukseskan kinerja kementrian. Lemahnya kepemimpinan ditengarai juga ikut memperparah keadaan.



The choice is yours ? Tanpa bermaksud menilai benar-tidaknya pilihan yang telah diambil oleh mayoritas suara rakyat di Pilpres 2009 (maupun 2004?); maka suka ataupun tidak suka --- khususnya bagi para pendukung Capres/Cawapres yang jago-nya gagal di Pilpres 2004 dan/atau 2009 --- telah menempatkan SBY (harapannya?) untuk melanjut-tuntaskan visi, misi maupun program-program pokoknya. Sementara orang menggambarkan SBY dan pasangannya (JK di Pilpres 2004 dan Boediono di Pilpres 2009) lebih merepresentasikan kekuatan masa pemilih. Kekuatan yang benar-benar mencerminkan mayoritas pendukung rasional yang memilih SBY berdasarkan kualitas visi, misi dan program; serta dengan mempertimbangkan keserasian, keselarasan maupun keseimbangan didalam menangani segala macam persoalan secara lebih solid , padu, kompak dan sinergetik . Kemenangan terhadap “lawan utama”-nya MSP di Pilpres 2004 maupun 2009; bahkan cukup telak --- cukup satu putaran --- di Pilpres 2009 ternyata tidak punya arti apa-apa dan tidak mampu meningkatkan rasa percaya diri. Termasuk juga yang menimpa partai pendukung utamanya, Partai Demokrat yang seolah-olah begitu demam panggung. Tidak hanya mampu bersikap sebagai partai pemenang pemilu, tetapi juga terus termehek-mehek menghadapi “lawan” yang sekaligus kawan koalisinya sendiri.


Koalisi partai, apa masih diperlukan dalam Pilpres langsung? Dalam Pilpres langsung, siapa-pun yang terpilih, akan mengemban amanah rakyat secara langsung. Siapapun pemenangnya akan lebih ditentukan oleh kuantitas suara rakyat pemilih (one person, one vote, one value) dan bukan oleh rekayasa politik yang dilakukan oleh sejumlah elite partai. Koalisasi macam apapun yang dibuat oleh para elite partai seperti sekarang dijumpai --- dengan ideologi maupun kepentingan sesaat yang dijadikan landasan perekat --- tidaklah mampu mengikat suara rakyat. Pilpres langsung tidak harus berjalan secara linier dengan pemilu legislatif didalam menentukan arah dan motivasi seseorang didalam menetapkan pilihannya. Atribut-atribut yang bersifat personal ternyata jauh lebih dominan didalam membentuk image positif di mata rakyat pemilih dibandingkan dengan aliansi-aliansi politik yang dibangun oleh partai pendukung. Visi, misi maupun program-program yang keluar dari seorang pemimpin harus mampu memberi arah yang jelas dan solusi konkrit terhadap problematika bangsa. Sudah tidak ada gunanya lagi dilakukan praktek dagang sapi untuk ditukar dengan kursi menteri. Koalisi hanya membuang energi, mengganggu dan menyuburkan politisasi kinerja menteri. Bebaskan Presiden/Wakil Presiden --- demikian juga para menteri anggota kabinetnya --- dari jabatan maupun tugas-tugas kepartaian agar lebih bisa bekerja secara efektif dan profesional. Tugas Presiden terpilih harus mengedepankan kepentingan mayoritas rakyat yang memilihnya. Harus bisa ngayomi, ngayemi dan ngayani mereka. Merealisasikan janji-janji yang pernah diucapkan saat kampanye, dan tidak hanya pandai menjual mimpi. Barangkali ini merupakan esensi dari Kabinet Presidensial itu?


Pilpres langsung seharusnya mampu memberikan alternatif pilihan bagi rakyat dalam menentukan siapa figur yang paling layak untuk diberi mandat sebagai Presiden dan Wakil Presiden, serta menyelesaikan tuntas satu periode masa jabatan. Pilpres langsung harus bisa menghasilkan seorang pemimpin yang credible diukur dari jumlah suara terbanyak; dan yang acceptable ditunjukkan dengan kualitas dari alternatif kandidat pilihan. Bebaskan rakyat untuk menentukan pilihannya sendiri. Siapa-pun kelak yang terpilih wajib bagi kita untuk menghormati dan mematuhi kehendak rakyat. Vox populi, vox dei – suara rakyat, suara Tuhan. Rakyat cerdas memilih memimpin yang berkualitas.

Sritomo W.Soebroto, 8 Maret 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar