Selasa, 08 Maret 2011

Rakyat Cerdas Memilih Pemimpin Berkualitas


Proses demokrasi yang terus bergulir di Republik ini telah mencatat sejarah baru yaitu berupa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang dilakukan secara langsung. Siapapun yang terpilih dalam hal ini akan lebih ditentukan oleh kuantitas (jumlah) suara rakyat pemilih dan bukan oleh rekayasa politik yang dilakukan oleh sejumlah elite partai yang mencoba melakukan segala macam jurus strategi yang dikenali dalam literatur politik praktis. Mulai dengan perekayasaan segala macam poros kekuatan dari model koalisi, aliansi, sampai kolaborasi yang berujung pada pembagian kursi. Sebuah strategi ”politik dagang sapi” yang dalam proses demokrasi masa lalu terasa efektif dijalankan di tingkat elite politik --- baik di tingkat partai politik maupun perwakilan mereka di legislatif (DPR/MPR) --- namun macet total manakala proses pemilihan presiden kemudian dilakukan secara langsung seperti yang telah dua kali dilaksanakan seperti dijumpai di Pemilu 2004 dan 2009 yang lalu.


Berbeda dengan mekanisme Pilpres konvensional; maka untuk jabatan RI1/RI2 tidak lagi ditentukan lewat proses pemilihan berdasarkan ”demokrasi perwakilan” yang dilakukan oleh para wakil rakyat di MPR seperti yang kita kenali sebelumnya. Pilpres 2004 dan 2009 sungguh sangat berbeda dibandingkan dengan pilpres-pilpres sebelumnya. Perbedaan yang paling mendasar terletak pada proses pemilihan langsung berdasarkan prinsip ”vox populi, vox dei”. Suara rakyat, suara Tuhan. Sebuah proses demokrasi yang menekankan benar asas egaliter --- dimana setiap orang memiliki suara yang sama --- tidak peduli apapun derajat kehidupan mereka dalam strata sosial yang ada (one person, one vote, one value). Suara rakyat yang betul-betul dijadikan dasar untuk menentukan maupun menolak siapa-pun yang dianggap layak atau tidak layak dipilih menjadi pemimpin atas dasar pertimbangan yang hanya mereka (rakyat) sendiri yang tahu. Rakyat cerdas memilih pemimpin yang berkualitas, meskipun tidak bisa dipungkiri masih banyak pula rakyat yang memilih berdasarkan ikatan emosionalitas. Begitu kira-kira esensi demokrasi yang ingin diimplementasikan dalam Pilpres 2004 maupun 2009.


Demokrasi sering didefinisikan sebagai pemerintahan atau kekuasaan (cratos) yang dipilih oleh rakyat (demos), dari rakyat, dan untuk kepentingan rakyat itu sendiri. Bukan persoalan yang mudah untuk mencapai legitimasi kekuasaan yang didukung oleh mayoritas rakyat. Dalam hal ini diperlukan mekanisme pemilihan yang mampu merefleksikan dukungan tersebut; tidak peduli apakah harus melalui proses pemilihan langsung ataupun dengan sistem perwakilan --- dimana suara rakyat akan dititipkan melalui “wakil-wakil”nya --- yang jelas suara terbanyak akan menentukan siapa yang paling layak. Tolok ukur suara terbanyak memang tidak selamanya akan mencerminkan kualitas hasil pemilihannya. Untuk itu diperlukan rasionalitas sebagai landasan dan ukuran untuk menentukan pilihan seorang pemimpin.


Tulisan ini tidaklah bermaksud untuk mempersoalkan kembali proses demokrasi seperti apa yang seharusnya diimplementasikan, dan mekanisme pemilihan yang bagaimana yang bisa menjamin terpilihnya seorang pemimpin (presiden) yang credible dan acceptable. Apa yang ingin diwacanakan dalam tulisan ini lebih menitik-beratkan pada faktor individu calon pemimpin seperti apa yang di-ideal-kan dan diharapkan oleh bangsa yang sedang dilanda nestapa dengan aneka macam persoalan yang tak kunjung teratasi secara nyata. Ditengah-tengah begitu banyak tantangan yang masa depan; bangsa ini dihadapkan pada ”stock” figur calon pemimpin yang memiliki karakteristik dan track record kepemimpinan yang apa adanya, dan terkadang jauh dari selera umum. Hasil pemilihan umum presiden/cawapres (pilpres) pada 2004 dan 2009 kemarin telah menghasilkan sebuah skenario optimal seperti yang telah diprediksi oleh banyak kalangan mulai dari pengamat sampai ke elite politik sendiri. Kebetulan menghasilkan figur pemimpin (Presiden) yang sama, meskipun dengan pasangan yang berbeda. Skenario maksimal (ideal) memang dari mula tidak begitu meyakinkan akan bisa diperoleh, namun yang lebih patut untuk disyukuri adalah skenario minimal (terburuk?) telah bisa dihindari untuk tidak terjadi.


Terpilihnya Presiden SBY sebagai ”inkumben” seharusnya bisa memantapkan dan melanjutkan kebijakan maupun program-program yang tidak/belum sempat dituntaskan di periode masa jabatan sebelumnya. Slogan LANJUTKAN dan TUNTASKAN yang pada saat masa kampanye Pilpres 2009 begitu bergaung keras dan mampu mendulang suara banyak (lebih dari 60%) mestinya bisa dipakai sebagai modal kerja bagi rezim pemerintah yang berkuasa secara lebih efektif. Namun, alih-alih mampu mengakselerasi roda pemerintahan, justru yang terjadi malah jalan alot kalau tidak mau dibilang macet tak juga beranjak maju. Presiden SBY dengan KIB II justru ”terjebak” dengan strategi koalisi (partai pendukung) melalui SetGab yang diciptakan sendiri. Kabinet Presidensiil tak pelak gak beda modelnya dengan Kabinet Parlementer. Kepentingan pragmatis dan intrik (manuver) politik jauh lebih dinamis menggiring roda pemerintahan menuju sasaran dan target kepentingan masing-masing partai pendukung, dibandingkan dengan kepentingan mensukseskan kinerja kementrian. Lemahnya kepemimpinan ditengarai juga ikut memperparah keadaan.



The choice is yours ? Tanpa bermaksud menilai benar-tidaknya pilihan yang telah diambil oleh mayoritas suara rakyat di Pilpres 2009 (maupun 2004?); maka suka ataupun tidak suka --- khususnya bagi para pendukung Capres/Cawapres yang jago-nya gagal di Pilpres 2004 dan/atau 2009 --- telah menempatkan SBY (harapannya?) untuk melanjut-tuntaskan visi, misi maupun program-program pokoknya. Sementara orang menggambarkan SBY dan pasangannya (JK di Pilpres 2004 dan Boediono di Pilpres 2009) lebih merepresentasikan kekuatan masa pemilih. Kekuatan yang benar-benar mencerminkan mayoritas pendukung rasional yang memilih SBY berdasarkan kualitas visi, misi dan program; serta dengan mempertimbangkan keserasian, keselarasan maupun keseimbangan didalam menangani segala macam persoalan secara lebih solid , padu, kompak dan sinergetik . Kemenangan terhadap “lawan utama”-nya MSP di Pilpres 2004 maupun 2009; bahkan cukup telak --- cukup satu putaran --- di Pilpres 2009 ternyata tidak punya arti apa-apa dan tidak mampu meningkatkan rasa percaya diri. Termasuk juga yang menimpa partai pendukung utamanya, Partai Demokrat yang seolah-olah begitu demam panggung. Tidak hanya mampu bersikap sebagai partai pemenang pemilu, tetapi juga terus termehek-mehek menghadapi “lawan” yang sekaligus kawan koalisinya sendiri.


Koalisi partai, apa masih diperlukan dalam Pilpres langsung? Dalam Pilpres langsung, siapa-pun yang terpilih, akan mengemban amanah rakyat secara langsung. Siapapun pemenangnya akan lebih ditentukan oleh kuantitas suara rakyat pemilih (one person, one vote, one value) dan bukan oleh rekayasa politik yang dilakukan oleh sejumlah elite partai. Koalisasi macam apapun yang dibuat oleh para elite partai seperti sekarang dijumpai --- dengan ideologi maupun kepentingan sesaat yang dijadikan landasan perekat --- tidaklah mampu mengikat suara rakyat. Pilpres langsung tidak harus berjalan secara linier dengan pemilu legislatif didalam menentukan arah dan motivasi seseorang didalam menetapkan pilihannya. Atribut-atribut yang bersifat personal ternyata jauh lebih dominan didalam membentuk image positif di mata rakyat pemilih dibandingkan dengan aliansi-aliansi politik yang dibangun oleh partai pendukung. Visi, misi maupun program-program yang keluar dari seorang pemimpin harus mampu memberi arah yang jelas dan solusi konkrit terhadap problematika bangsa. Sudah tidak ada gunanya lagi dilakukan praktek dagang sapi untuk ditukar dengan kursi menteri. Koalisi hanya membuang energi, mengganggu dan menyuburkan politisasi kinerja menteri. Bebaskan Presiden/Wakil Presiden --- demikian juga para menteri anggota kabinetnya --- dari jabatan maupun tugas-tugas kepartaian agar lebih bisa bekerja secara efektif dan profesional. Tugas Presiden terpilih harus mengedepankan kepentingan mayoritas rakyat yang memilihnya. Harus bisa ngayomi, ngayemi dan ngayani mereka. Merealisasikan janji-janji yang pernah diucapkan saat kampanye, dan tidak hanya pandai menjual mimpi. Barangkali ini merupakan esensi dari Kabinet Presidensial itu?


Pilpres langsung seharusnya mampu memberikan alternatif pilihan bagi rakyat dalam menentukan siapa figur yang paling layak untuk diberi mandat sebagai Presiden dan Wakil Presiden, serta menyelesaikan tuntas satu periode masa jabatan. Pilpres langsung harus bisa menghasilkan seorang pemimpin yang credible diukur dari jumlah suara terbanyak; dan yang acceptable ditunjukkan dengan kualitas dari alternatif kandidat pilihan. Bebaskan rakyat untuk menentukan pilihannya sendiri. Siapa-pun kelak yang terpilih wajib bagi kita untuk menghormati dan mematuhi kehendak rakyat. Vox populi, vox dei – suara rakyat, suara Tuhan. Rakyat cerdas memilih memimpin yang berkualitas.

Sritomo W.Soebroto, 8 Maret 2011.

Minggu, 06 Maret 2011

Perpektif Politik dan Manajemen Kekuasaan



Politik sering diartikan sebagai sebuah langkah untuk memperoleh kekuasaan. Kekuasaan itu sendiri dipesepsikan sebagai ”tunggal” dan diperebutkan diantara kelompok-kelompok politik yang ada. Kekuasaan acap-kali juga direpresentasikan dalam berbagai macam jabatan yang berhasil diambil untuk menunjukkan seberapa besar kewenangan (otoritas) dalam menentukan arah maupun kebijakan organisasi atau institusi. Proses perebutan kekuasaan ini seringkali menerapkan konsep "tunggal” yang direfleksikan dari sebuah permainan yang dikenal sebagai Zero Sum Game. Konsep ini akan memberikan pengertian bagi mereka yang terlibat dalam permainan tersebut bahwa apapun yang mereka lakukan, maka akhir dari permainan tersebut akan selalu menghasilkan nilai akhir sama dengan NOL. Disini hanya ada satu pemenang yang akan memperoleh semuanya, sedangkan yang lain (sisanya) adalah pecundang yang tidak akan mendapatkan apa-apa. Istilah kerennya disebut dengan ”the winner takes all” !


Oleh karena itu pula semangat yang melatar-belakangi para pemain dalam arena politik (politikus) ini adalah harus bisa memenangkan permainan. Bagaimanapun cara yang harus ditempuh; kalau perlu teori Machiavelli ”menghalalkan segala cara” juga dipraktekkan. Aturan, tata-tertib ataupun UU yang mengatur permainan bisa dirancang dan disesuaikan dengan hal-hal yang menguntungkan diri sendiri. Tentu saja kalau memungkinkan diatur untuk ”mengakali” lawan bermainnya. Kalau toh hal tersebut masih tidak bisa memberikan peluang untuk menang; maka ada banyak cara dan akal untuk mengelabui maupun mensiasati aturan-aturan permainan yang notabene mereka buat sendiri.

Persoalan etika bermain yang lazim dikenali dalam permainan-permainan semacam ini seperti fair-play, sportivitas, dan lain-lain tidak lagi lazim dijadikan ukuran keberhasilan. Bukan hanya itu, nilai-nilai moral-agama yang seharusnya bisa membedakan mana yang yang halal dan mana pula yang haram untuk dilakukan seringkali juga tidak diindahkan. Bagaimana pula dengan wasit atau pihak ketiga yang seharusnya mengatur, mengawasi dan menjaga agar permainan bisa berlangsung dengan jujur serta adil? Itu juga bukan lagi persoalan pelik; karena bukankah semuanya bisa diatur? Karena ”politik” dipersepsikan sebatas sebuah permainan dan bukannya sebuah ladang pengabdian untuk kemaslahatan semuanya. Apa yang dilakukan oleh mereka yang terlibat dalam permainan tidak lagi didasari oleh semangat kompetisi yang sepantasnya enak ditonton; tetapi lebih didorong oleh semangat untuk menang dan memberi kepuasan bagi mereka yang begitu haus akan kekuasaan. Sebaliknya hanya aib dan nista saja yang dirasakan bagi mereka yang kalah.


Dalam proses perebutan kekuasaan (politik) ini, mereka yang kalah berarti berarti tidak akan memperoleh apa-apa (nol). Kekalahan bagi seorang politikus sering diartikan sebagai sebuah aib dan bukannya ketidak-beruntungan karena dewi fortuna tidak memihak dirinya. Sebuah ”aib” karena kekalahan dalam hal ini dipersepsikan sebagai ketidak-senangan publik akan diri atau kelompoknya. Kekalahan dalam permainan politik dianggap bukan karena visi, misi maupun program yang ingin dijual ternyata tidak sesuai dengan harapan mayoritas pemilih; akan tetapi lebih diterima sebagai bentuk ketidak-senangan akan karakter pribadi yang didengar melalui berbagai isu, gosip maupun kampanye negatif yang dilakukan oleh lawan politik-nya. Kekalahan dalam proses pergulatan politik dianggap sebagai sesuatu yang hina dan oleh karena itu semua akan berupaya menghindarinya. Berbagai macam strategi dan cara taktis akan dilakukan. Mulai dari merekayasa kelemahan lawan sampai dengan membangun kekuatan diri sendiri melalui berbagai macam koalisi maupun aliansi dengan kekuatan politik yang lain. Perbedaan platform maupun prinsip perjuangan bukan lagi sebuah kendala, karena yang lebih penting dari itu adalah kesamaan kepentingan dan keinginan untuk menempatkan lawan politik sebagai ”musuh” bersama.


Perspektif politik semacam ini cenderung akan menghasilkan berbagai tesis; salah satunya adalah tesis ”ganti penguasa ganti peraturan atau kebijakan”. Tesis seperti ini akhirnya dijadikan tolok ukur kekuasaan bagi mereka yang berhasil mencapainya dan membawa kecenderungan untuk terus mempertahankannya selama mungkin. Disisi lain kekuatan politik baru juga akan menumbang-robohkan apa-apa yang sudah dihasilkan oleh rezim politik sebelumnya atas nama reformasi, perubahan ataupun paradigma global (zero sum game?). Sebuah keberhasilan akan cenderung untuk selalu diakui sebagai hasil perjuangannya; manakala ada kegagalan itu bukan karena ketidak-mampuannya, melainkan semata ”warisan” kebobrokan yang diterima dari rezim-rezim kekuasaan sebelumnya. Ukuran keberhasilan seringkali pula tidak didefinisikan melalui kontrak politik dengan tolok ukur --- baik kuantitatif maupun kualitatif --- yang jelas. Oleh karena itu cerita sukses semacam akan terus dipublikasikan dan dijadikan sebagai modal dasar untuk tetap bertahan dalam tahta singgasana kekuasaan. Kekuasaan sering dipahami sebagai sumber segala kenikmatan dan untuk itu sungguh sayang kalau terlalu cepat berlalu. Tesis awal ini kemudian akan menghasilkan tesis yang lain ”kekuasaan cenderung korup” (power tends to corrupt), manakala tidak ada batas waktu dan seberapa lama kekuasaan tadi boleh dipegang oleh sebuah rezim pemerintahan.


Kekuasaan dalam perspektif politik kekuasaan sebenarnya tidak akan memberikan masalah besar manakala kekuasaan itu dikelola dengan perspektif manajemen pemerintahan yang efektif. Dalam perspektif manajemen ada sebuah paradigma untuk melihat segala sesuatu sebagai upaya untuk mengoptimalkan setiap asset yang ada; termasuk semua asset yang diwariskan oleh manajemen (pemerintah atau otoritas pemegang kekuasaan) sebelumnya. Dalam hal ini konsep Zero Sum Game jelas tidak boleh diterapkan dalam setiap pergantian kekuasaan. Semangat perspektif manajemen adalah kesinambungan (kontinyuitas) dari setiap proses perubahan yang terjadi. Dalam negara-negara modern dimana sistem berbangsa dan bernegara cenderung mapan; maka proses produktif akan terus berlangsung secara berkelanjutan sekalipun ada pergantian kekuasaan dan perbedaan aliran politik penguasanya. Kegagalan dari sebuah kebijakan maupun program yang dijalankan dalam perspektif ini lebih dilihat dari aspek ketidak-mampuan untuk mempertahankan kesinambungan.

The choice is yours. Tanpa bermaksud menilai benar-tidaknya pilihan yang telah diambil oleh mayoritas suara rakyat di Pilpres langsung 2009 yang lalu; maka suka ataupun tidak suka --- khususnya bagi para pendukung Capres/Cawapres yang jago-nya gagal --- telah menempatkan kembali SBY (yang kali ini ganti pasangan) dan Boediono untuk memimpin NKRI. Sementara orang menggambarkan pasangan ini merepresentasikan kekuatan masa pemilih sebenarnya (62% suara pemilih) dan yang juga didukung oleh suara partai yang memenangkan Pemilu legislatif. Kekuatan utama SBY-Boediono benar-benar mencerminkan kekuatan pendukung rasional yang memilih pasangan ini berdasarkan kualitas visi, misi dan program; serta dengan mempertimbangkan keserasian, keselarasan maupun keseimbangan didalam menangani segala macam persoalan secara lebih solid , padu, kompak dan sinergetik .


Pasangan SBY-Boediono ini merepresentasikan semangat bertahan untuk melakukan perubahan yang strategi jangka pendeknya adalah dengan cara melanjutkan pola kepemimpinan pemerintahan (lama) yang telah berlangsung agar bisa menjalankan berbagai kebijakan maupun mekanisme didalam proses pengambilan keputusan. Disisi lain pasangan SBY-Boediono merupakan representasi dari kekuatan lama (minus JK) dengan “cerita sukses”nya masih ingin terus diakui dan diberi kesempatan untuk bisa meneruskan tahta kekuasaannya yang menurut konstitusi saat sekarang masih ditolerir (tinggal) 3.5 tahun lagi.

Pilpres langsung 2009 yang menempatkan SBY-Boediono terpilih secara mengesankan (62% suara pemilih) ternyata dalam perjalanan awalnya sangat jauh dari memuaskan. Komposisi ”suara rakyat” --- one man one vote one value --- direduksi menjadi suara partai yang direpresentasikan menjadi sebuah ”kabinet koalisi”. Kabinet presidensial yang semestinya dijadikan landasan untuk menjalankan roda pemerintahan terkesan tersandera dengan permainan (game) politik yang dipertontonkan oleh partisan-partisan partai koalisi yang ada di lembaga legislatif (DPR). Hal yang lazim dijumpai dalam sebuah kabinet parlementer. Pemahaman ”the winner takes all” seperti dalam dijumpai dalam uraian awal tidak terjadi dalam hal ini. Skenario yang tidak jalan di lapangan, kemenangan yang tidak terlalu mutlak di Pemilu legislatif, atau leadership yang penuh dengan keraguan; barangkali itu beberapa alasan yang patut untuk dianalisa dan dicarikan solusi pemecahannya.


Partai apapun yang akan ditendang keluar dan yang akan ditarik dijadikan kawan koalisi baru; siapapun menteri yang akan dicopot dan yang diajak masuk kabinet yang akan datang, harus bisa memberikan solusi terhadap aneka persoalan dan tantangan di masa depan. Bangsa ini sudah cukup kenyang dengan janji-janji tanpa realisasi. Sungguh kita memerlukan seorang pemimpin yang punya visi kuat dan bukan seorang pemimpin yang bermodalkan mimpi untuk meningkatkan martabat bangsa dan negara menuju ke skenario global. Kita tidak lagi perlu menghujat kepemimpinan maupun warisan kegagalan masa lalu ataupun yang terjadi sekarang. Kita semua adalah bagian dari masa lalu dan tidak bisa lepas dari beban sejarah masa lalu juga. Sudah sepatutnya kita memaafkan kesalahan pemimpin-pemimpin kita, meskipun tidak mudah bagi kita untuk melupakannya begitu saja. Negara dan bangsa ini sudah selayaknya dikelola dengan lebih baik, jujur dan tidak dipenuhi dengan cerita bohong lagi. Apapun yang telah diwariskan oleh rezim masa lalu adalah ”assets” bangsa yang harus dikelola secara lebih efektif-efisien. Jangan sampai setiap kali ganti kekuasaan, ganti menteri, dll; kita harus memulainya dari nol lagi. Siapapun yang terpilih jadi anggota kabinet baru harus mampu meneruskan semangat reformasi dan perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik. Lebih demokratis dan berkeadilan. It’s time for changing.


Sabtu, 05 Maret 2011

Apakah “Politikus” Sebuah Profesi?



Politik bisa diartikan sebagai kebijakan (policy) yang harus diterapkan oleh mereka yang mendapatkan amanah untuk memegang kekuasaan atau otoritas politik (political authority) yang diperoleh melalui sebuah proses demokrasi yaitu Pemilihan Umum (Pemilu) yang harus dilaksanakan dalam periode waktu tertentu. Agar bisa memperoleh mandat politik dan bisa memenangkan Pemilu; maka sebuah partai politik harus mampu merebut hati rakyat pemilih lewat program/aktivitas politik yang diwacana-sosialisasikan oleh para pejuang (partisan) politiknya. Baik yang nantinya akan duduk di lembaga legislatif (DPR/ DPRD) maupun eksekutif (Presiden).


Catatan ini akan mencoba menelaah seberapa jauh para aktivis politik (politikus) yang selama ini berkecimpung di lingkungan partai --- baik yang menempatkan dirinya sebagai pejuang (partisan) partai, anggota legislatif (yang merepresentasikan konstituen/rakyat yang diwakilinya), atau para elite atau profesional yang menduduki berbagai jabatan dan tingkatan di eksekutif/birokrasi yang penunjukannya sering dilakukan melalui sebuah keputusan politik --- telah memahami makna/arti profesi, profesional dan profesionalisme di bidang politik?

Siapakah yang dimaksudkan dengan politikus itu? Begitu pula apakah aktivitas-aktivitas di lingkungan politik itu hanya boleh dan seharusnya dikerjakan oleh mereka yang memiliki latar belakang pendidikan maupun profesi tertentu saja? Sebelum menetapkan apakah “politikus” itu sebuah profesi atau bukan, dan apakah ruang lingkup kegiatan para politikus kita di panggung politik khususnya (partai politik, legislatif, eksekutif/ birokrasi) per definisi bisa disejajarkan dengan kegiatan profesi yang lain seperti dokter, pengacara, akuntan, guru/dosen, wartawan, dan sebagainya; maka ada baiknya dan perlu terlebih dahulu dipahami makna dan pengertian tentang profesi, (sikap) profesional serta (paham) profesionalisme.

Profesi adalah sebuah aktivitas kerja tertentu yang hanya bisa dilaksanakan oleh mereka yang memiliki bekal keahlian yang tinggi yang diperoleh melalui sebuah proses pendidikan maupun ketrampilan yang terseleksi ketat dan berat. Kemudian dengan semangat pengabdian dan penuh idealisme,para pemilik jasa profesi ini akan selalu siap memberikan pertolongan/pelayanan profesi kepada mereka yang memerlukan. Seorang profesional (pemberi jasa profesi) akan selalu berupaya mempertahankan idealisme dan paham profesionalisme yang merujuk bahwa keahlian profesi yang dikuasainya bukanlah sebuah komoditas bisnis yang hendak diperjual-belikan sekedar untuk memperoleh nafkah; melainkan suatu kebajikan yang hendak diabdikan demi kepentingan dan kesejahteraan umat manusia, bangsa maupun Negara secara lebih universal.


Siapakah atau kelompok sosial yang manakah yang bisa diklasifikasikan sebagai kaum elite berkeahlian (profesi) yang seharusnya memiliki kesadaran akan nilai-nilai kehormatan dan statusnya yang sangat elitis itu ? Apakah dalam hal ini seorang politikus --- yang berkiprah sebagai aktivis/partisan di partai politik, anggota legislatif (DPR/DPRD), ataupun eksekutif/birokrasi (bupati/walikota, gubernur sampai ke presiden --- bisa diklasifikasikan sebagai bagian dari kelompok sosial yang berkeahlian khusus (profesi) ? Meskipun sebagian dari mereka memang memiliki keahlian profesi tertentu; namun yang umum dijumpai untuk menjadi anggota DPR/DPRD atau menduduki jabatan politik di eksekutif/pemerintahan, seorang politikus akan diseleksi lebih didasarkan pertimbangan politis daripada kapabilitas (kompetensi/kemampuan) pengabdian untuk menerapkan standar keahlian profesi mereka. Tidak jarang mereka yang memiliki latar belakang pendidikan maupun keahlian professional tertentu, justru ditunjuk untuk menduduki jabatan yang tidak mencerminkan kompetensi keahliannya. Disini rekrutmen atas dasar pertimbangan politik tampak jauh lebih menonjol dibandingkan latar belakang profesi yang dimilikinya.

Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tadi jelas tidak mudah untuk dijawab. Terlebih-lebih bila dikaitkan dengan berbagai macam persoalan, praktek empiris, maupun berbagai penyimpangan yang banyak kita jumpai di ranah politik yang jauh dari semangat dan idealisme pengabdian demi tegaknya kehormatan diri dan nilai-nilai profesionalisme. Banyak kasus menunjukkan bagaimana anggota DPR/DPRD yang hanya menerapkan sikap duduk, diam dan duit (uang sidang dan perjalanan?) tanpa pernah memberikan kontribusi yang signifikan sesuai dengan tugas-tugas legislasi berbasis profesi/kompetensi yang diamanahkan. Begitu juga banyak menteri yang lebih disibukkan dengan tugas dan misi politik partainya dibandingkan mengurusi tugas dan kewajiban melaksanakan program maupun kebijakan teknis di kementriannya. Termasuk disini menghimpun kekuatan kelompoknya sendiri (sektarian) untuk mendominasi kementriannya. Pendekatan sektarianisme yang sejatinya sangat berlawanan dengan landasan profesionalisme.


Contoh paling aktual yang bertentangan dengan sikap professional dan sering diungkap adalah praktek-praktek “money politics” yang begitu marak dijumpai dimana-mana, tetapi sulit untuk dibuktikan; dan umumnya juga tidak diikuti dengan tindakan-tindakan yang konkrit. Begitu juga banyaknya politikus dan pejabat-pejabat politik yang terjerat dalam praktek korupsi dan gratifikasi menunjukkan kalau para pekerja politik ini rentan untuk berbuat dan bertindak menyimpang dari visi, misi maupun idealisme partai yang menjadi kendaraan politiknya. Jelas praktek tercela macam begini sangat jauh dari sikap seorang profesional; bahkan kalau boleh dikatakan justru lebih mengarah ke “pelacuran” politik. Adanya Dewan/Majelis Kehormatan yang dibentuk untuk mengawasi dan mengadili pelanggaran-pelanggaran etika (politik) ataupun upaya menyusun semacam kode etik seringkali juga menghadapi berbagai kendala. Salah satunya adalah ketidakjelasan mengenai yang digunakan sebagai landasan rekrutmen para “politikus” itu sendiri yang lebih mengutamakan “kader/ partisan” partai politik dan tidak lebih ditekankan pada penguasaan maupun kompetensi sebuah profesi yang “fit and proper” dengan tugas kesehariannya. Penyelesaian persoalan pelanggaran etika lebih bernuansakan politis dan tidak menyelesaikan secara teknis maupun akademis keprofesian yang dilanggar. Bagaimana pandangan anda?