Sabtu, 05 Maret 2011

Apakah “Politikus” Sebuah Profesi?



Politik bisa diartikan sebagai kebijakan (policy) yang harus diterapkan oleh mereka yang mendapatkan amanah untuk memegang kekuasaan atau otoritas politik (political authority) yang diperoleh melalui sebuah proses demokrasi yaitu Pemilihan Umum (Pemilu) yang harus dilaksanakan dalam periode waktu tertentu. Agar bisa memperoleh mandat politik dan bisa memenangkan Pemilu; maka sebuah partai politik harus mampu merebut hati rakyat pemilih lewat program/aktivitas politik yang diwacana-sosialisasikan oleh para pejuang (partisan) politiknya. Baik yang nantinya akan duduk di lembaga legislatif (DPR/ DPRD) maupun eksekutif (Presiden).


Catatan ini akan mencoba menelaah seberapa jauh para aktivis politik (politikus) yang selama ini berkecimpung di lingkungan partai --- baik yang menempatkan dirinya sebagai pejuang (partisan) partai, anggota legislatif (yang merepresentasikan konstituen/rakyat yang diwakilinya), atau para elite atau profesional yang menduduki berbagai jabatan dan tingkatan di eksekutif/birokrasi yang penunjukannya sering dilakukan melalui sebuah keputusan politik --- telah memahami makna/arti profesi, profesional dan profesionalisme di bidang politik?

Siapakah yang dimaksudkan dengan politikus itu? Begitu pula apakah aktivitas-aktivitas di lingkungan politik itu hanya boleh dan seharusnya dikerjakan oleh mereka yang memiliki latar belakang pendidikan maupun profesi tertentu saja? Sebelum menetapkan apakah “politikus” itu sebuah profesi atau bukan, dan apakah ruang lingkup kegiatan para politikus kita di panggung politik khususnya (partai politik, legislatif, eksekutif/ birokrasi) per definisi bisa disejajarkan dengan kegiatan profesi yang lain seperti dokter, pengacara, akuntan, guru/dosen, wartawan, dan sebagainya; maka ada baiknya dan perlu terlebih dahulu dipahami makna dan pengertian tentang profesi, (sikap) profesional serta (paham) profesionalisme.

Profesi adalah sebuah aktivitas kerja tertentu yang hanya bisa dilaksanakan oleh mereka yang memiliki bekal keahlian yang tinggi yang diperoleh melalui sebuah proses pendidikan maupun ketrampilan yang terseleksi ketat dan berat. Kemudian dengan semangat pengabdian dan penuh idealisme,para pemilik jasa profesi ini akan selalu siap memberikan pertolongan/pelayanan profesi kepada mereka yang memerlukan. Seorang profesional (pemberi jasa profesi) akan selalu berupaya mempertahankan idealisme dan paham profesionalisme yang merujuk bahwa keahlian profesi yang dikuasainya bukanlah sebuah komoditas bisnis yang hendak diperjual-belikan sekedar untuk memperoleh nafkah; melainkan suatu kebajikan yang hendak diabdikan demi kepentingan dan kesejahteraan umat manusia, bangsa maupun Negara secara lebih universal.


Siapakah atau kelompok sosial yang manakah yang bisa diklasifikasikan sebagai kaum elite berkeahlian (profesi) yang seharusnya memiliki kesadaran akan nilai-nilai kehormatan dan statusnya yang sangat elitis itu ? Apakah dalam hal ini seorang politikus --- yang berkiprah sebagai aktivis/partisan di partai politik, anggota legislatif (DPR/DPRD), ataupun eksekutif/birokrasi (bupati/walikota, gubernur sampai ke presiden --- bisa diklasifikasikan sebagai bagian dari kelompok sosial yang berkeahlian khusus (profesi) ? Meskipun sebagian dari mereka memang memiliki keahlian profesi tertentu; namun yang umum dijumpai untuk menjadi anggota DPR/DPRD atau menduduki jabatan politik di eksekutif/pemerintahan, seorang politikus akan diseleksi lebih didasarkan pertimbangan politis daripada kapabilitas (kompetensi/kemampuan) pengabdian untuk menerapkan standar keahlian profesi mereka. Tidak jarang mereka yang memiliki latar belakang pendidikan maupun keahlian professional tertentu, justru ditunjuk untuk menduduki jabatan yang tidak mencerminkan kompetensi keahliannya. Disini rekrutmen atas dasar pertimbangan politik tampak jauh lebih menonjol dibandingkan latar belakang profesi yang dimilikinya.

Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tadi jelas tidak mudah untuk dijawab. Terlebih-lebih bila dikaitkan dengan berbagai macam persoalan, praktek empiris, maupun berbagai penyimpangan yang banyak kita jumpai di ranah politik yang jauh dari semangat dan idealisme pengabdian demi tegaknya kehormatan diri dan nilai-nilai profesionalisme. Banyak kasus menunjukkan bagaimana anggota DPR/DPRD yang hanya menerapkan sikap duduk, diam dan duit (uang sidang dan perjalanan?) tanpa pernah memberikan kontribusi yang signifikan sesuai dengan tugas-tugas legislasi berbasis profesi/kompetensi yang diamanahkan. Begitu juga banyak menteri yang lebih disibukkan dengan tugas dan misi politik partainya dibandingkan mengurusi tugas dan kewajiban melaksanakan program maupun kebijakan teknis di kementriannya. Termasuk disini menghimpun kekuatan kelompoknya sendiri (sektarian) untuk mendominasi kementriannya. Pendekatan sektarianisme yang sejatinya sangat berlawanan dengan landasan profesionalisme.


Contoh paling aktual yang bertentangan dengan sikap professional dan sering diungkap adalah praktek-praktek “money politics” yang begitu marak dijumpai dimana-mana, tetapi sulit untuk dibuktikan; dan umumnya juga tidak diikuti dengan tindakan-tindakan yang konkrit. Begitu juga banyaknya politikus dan pejabat-pejabat politik yang terjerat dalam praktek korupsi dan gratifikasi menunjukkan kalau para pekerja politik ini rentan untuk berbuat dan bertindak menyimpang dari visi, misi maupun idealisme partai yang menjadi kendaraan politiknya. Jelas praktek tercela macam begini sangat jauh dari sikap seorang profesional; bahkan kalau boleh dikatakan justru lebih mengarah ke “pelacuran” politik. Adanya Dewan/Majelis Kehormatan yang dibentuk untuk mengawasi dan mengadili pelanggaran-pelanggaran etika (politik) ataupun upaya menyusun semacam kode etik seringkali juga menghadapi berbagai kendala. Salah satunya adalah ketidakjelasan mengenai yang digunakan sebagai landasan rekrutmen para “politikus” itu sendiri yang lebih mengutamakan “kader/ partisan” partai politik dan tidak lebih ditekankan pada penguasaan maupun kompetensi sebuah profesi yang “fit and proper” dengan tugas kesehariannya. Penyelesaian persoalan pelanggaran etika lebih bernuansakan politis dan tidak menyelesaikan secara teknis maupun akademis keprofesian yang dilanggar. Bagaimana pandangan anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar