Minggu, 06 Maret 2011

Perpektif Politik dan Manajemen Kekuasaan



Politik sering diartikan sebagai sebuah langkah untuk memperoleh kekuasaan. Kekuasaan itu sendiri dipesepsikan sebagai ”tunggal” dan diperebutkan diantara kelompok-kelompok politik yang ada. Kekuasaan acap-kali juga direpresentasikan dalam berbagai macam jabatan yang berhasil diambil untuk menunjukkan seberapa besar kewenangan (otoritas) dalam menentukan arah maupun kebijakan organisasi atau institusi. Proses perebutan kekuasaan ini seringkali menerapkan konsep "tunggal” yang direfleksikan dari sebuah permainan yang dikenal sebagai Zero Sum Game. Konsep ini akan memberikan pengertian bagi mereka yang terlibat dalam permainan tersebut bahwa apapun yang mereka lakukan, maka akhir dari permainan tersebut akan selalu menghasilkan nilai akhir sama dengan NOL. Disini hanya ada satu pemenang yang akan memperoleh semuanya, sedangkan yang lain (sisanya) adalah pecundang yang tidak akan mendapatkan apa-apa. Istilah kerennya disebut dengan ”the winner takes all” !


Oleh karena itu pula semangat yang melatar-belakangi para pemain dalam arena politik (politikus) ini adalah harus bisa memenangkan permainan. Bagaimanapun cara yang harus ditempuh; kalau perlu teori Machiavelli ”menghalalkan segala cara” juga dipraktekkan. Aturan, tata-tertib ataupun UU yang mengatur permainan bisa dirancang dan disesuaikan dengan hal-hal yang menguntungkan diri sendiri. Tentu saja kalau memungkinkan diatur untuk ”mengakali” lawan bermainnya. Kalau toh hal tersebut masih tidak bisa memberikan peluang untuk menang; maka ada banyak cara dan akal untuk mengelabui maupun mensiasati aturan-aturan permainan yang notabene mereka buat sendiri.

Persoalan etika bermain yang lazim dikenali dalam permainan-permainan semacam ini seperti fair-play, sportivitas, dan lain-lain tidak lagi lazim dijadikan ukuran keberhasilan. Bukan hanya itu, nilai-nilai moral-agama yang seharusnya bisa membedakan mana yang yang halal dan mana pula yang haram untuk dilakukan seringkali juga tidak diindahkan. Bagaimana pula dengan wasit atau pihak ketiga yang seharusnya mengatur, mengawasi dan menjaga agar permainan bisa berlangsung dengan jujur serta adil? Itu juga bukan lagi persoalan pelik; karena bukankah semuanya bisa diatur? Karena ”politik” dipersepsikan sebatas sebuah permainan dan bukannya sebuah ladang pengabdian untuk kemaslahatan semuanya. Apa yang dilakukan oleh mereka yang terlibat dalam permainan tidak lagi didasari oleh semangat kompetisi yang sepantasnya enak ditonton; tetapi lebih didorong oleh semangat untuk menang dan memberi kepuasan bagi mereka yang begitu haus akan kekuasaan. Sebaliknya hanya aib dan nista saja yang dirasakan bagi mereka yang kalah.


Dalam proses perebutan kekuasaan (politik) ini, mereka yang kalah berarti berarti tidak akan memperoleh apa-apa (nol). Kekalahan bagi seorang politikus sering diartikan sebagai sebuah aib dan bukannya ketidak-beruntungan karena dewi fortuna tidak memihak dirinya. Sebuah ”aib” karena kekalahan dalam hal ini dipersepsikan sebagai ketidak-senangan publik akan diri atau kelompoknya. Kekalahan dalam permainan politik dianggap bukan karena visi, misi maupun program yang ingin dijual ternyata tidak sesuai dengan harapan mayoritas pemilih; akan tetapi lebih diterima sebagai bentuk ketidak-senangan akan karakter pribadi yang didengar melalui berbagai isu, gosip maupun kampanye negatif yang dilakukan oleh lawan politik-nya. Kekalahan dalam proses pergulatan politik dianggap sebagai sesuatu yang hina dan oleh karena itu semua akan berupaya menghindarinya. Berbagai macam strategi dan cara taktis akan dilakukan. Mulai dari merekayasa kelemahan lawan sampai dengan membangun kekuatan diri sendiri melalui berbagai macam koalisi maupun aliansi dengan kekuatan politik yang lain. Perbedaan platform maupun prinsip perjuangan bukan lagi sebuah kendala, karena yang lebih penting dari itu adalah kesamaan kepentingan dan keinginan untuk menempatkan lawan politik sebagai ”musuh” bersama.


Perspektif politik semacam ini cenderung akan menghasilkan berbagai tesis; salah satunya adalah tesis ”ganti penguasa ganti peraturan atau kebijakan”. Tesis seperti ini akhirnya dijadikan tolok ukur kekuasaan bagi mereka yang berhasil mencapainya dan membawa kecenderungan untuk terus mempertahankannya selama mungkin. Disisi lain kekuatan politik baru juga akan menumbang-robohkan apa-apa yang sudah dihasilkan oleh rezim politik sebelumnya atas nama reformasi, perubahan ataupun paradigma global (zero sum game?). Sebuah keberhasilan akan cenderung untuk selalu diakui sebagai hasil perjuangannya; manakala ada kegagalan itu bukan karena ketidak-mampuannya, melainkan semata ”warisan” kebobrokan yang diterima dari rezim-rezim kekuasaan sebelumnya. Ukuran keberhasilan seringkali pula tidak didefinisikan melalui kontrak politik dengan tolok ukur --- baik kuantitatif maupun kualitatif --- yang jelas. Oleh karena itu cerita sukses semacam akan terus dipublikasikan dan dijadikan sebagai modal dasar untuk tetap bertahan dalam tahta singgasana kekuasaan. Kekuasaan sering dipahami sebagai sumber segala kenikmatan dan untuk itu sungguh sayang kalau terlalu cepat berlalu. Tesis awal ini kemudian akan menghasilkan tesis yang lain ”kekuasaan cenderung korup” (power tends to corrupt), manakala tidak ada batas waktu dan seberapa lama kekuasaan tadi boleh dipegang oleh sebuah rezim pemerintahan.


Kekuasaan dalam perspektif politik kekuasaan sebenarnya tidak akan memberikan masalah besar manakala kekuasaan itu dikelola dengan perspektif manajemen pemerintahan yang efektif. Dalam perspektif manajemen ada sebuah paradigma untuk melihat segala sesuatu sebagai upaya untuk mengoptimalkan setiap asset yang ada; termasuk semua asset yang diwariskan oleh manajemen (pemerintah atau otoritas pemegang kekuasaan) sebelumnya. Dalam hal ini konsep Zero Sum Game jelas tidak boleh diterapkan dalam setiap pergantian kekuasaan. Semangat perspektif manajemen adalah kesinambungan (kontinyuitas) dari setiap proses perubahan yang terjadi. Dalam negara-negara modern dimana sistem berbangsa dan bernegara cenderung mapan; maka proses produktif akan terus berlangsung secara berkelanjutan sekalipun ada pergantian kekuasaan dan perbedaan aliran politik penguasanya. Kegagalan dari sebuah kebijakan maupun program yang dijalankan dalam perspektif ini lebih dilihat dari aspek ketidak-mampuan untuk mempertahankan kesinambungan.

The choice is yours. Tanpa bermaksud menilai benar-tidaknya pilihan yang telah diambil oleh mayoritas suara rakyat di Pilpres langsung 2009 yang lalu; maka suka ataupun tidak suka --- khususnya bagi para pendukung Capres/Cawapres yang jago-nya gagal --- telah menempatkan kembali SBY (yang kali ini ganti pasangan) dan Boediono untuk memimpin NKRI. Sementara orang menggambarkan pasangan ini merepresentasikan kekuatan masa pemilih sebenarnya (62% suara pemilih) dan yang juga didukung oleh suara partai yang memenangkan Pemilu legislatif. Kekuatan utama SBY-Boediono benar-benar mencerminkan kekuatan pendukung rasional yang memilih pasangan ini berdasarkan kualitas visi, misi dan program; serta dengan mempertimbangkan keserasian, keselarasan maupun keseimbangan didalam menangani segala macam persoalan secara lebih solid , padu, kompak dan sinergetik .


Pasangan SBY-Boediono ini merepresentasikan semangat bertahan untuk melakukan perubahan yang strategi jangka pendeknya adalah dengan cara melanjutkan pola kepemimpinan pemerintahan (lama) yang telah berlangsung agar bisa menjalankan berbagai kebijakan maupun mekanisme didalam proses pengambilan keputusan. Disisi lain pasangan SBY-Boediono merupakan representasi dari kekuatan lama (minus JK) dengan “cerita sukses”nya masih ingin terus diakui dan diberi kesempatan untuk bisa meneruskan tahta kekuasaannya yang menurut konstitusi saat sekarang masih ditolerir (tinggal) 3.5 tahun lagi.

Pilpres langsung 2009 yang menempatkan SBY-Boediono terpilih secara mengesankan (62% suara pemilih) ternyata dalam perjalanan awalnya sangat jauh dari memuaskan. Komposisi ”suara rakyat” --- one man one vote one value --- direduksi menjadi suara partai yang direpresentasikan menjadi sebuah ”kabinet koalisi”. Kabinet presidensial yang semestinya dijadikan landasan untuk menjalankan roda pemerintahan terkesan tersandera dengan permainan (game) politik yang dipertontonkan oleh partisan-partisan partai koalisi yang ada di lembaga legislatif (DPR). Hal yang lazim dijumpai dalam sebuah kabinet parlementer. Pemahaman ”the winner takes all” seperti dalam dijumpai dalam uraian awal tidak terjadi dalam hal ini. Skenario yang tidak jalan di lapangan, kemenangan yang tidak terlalu mutlak di Pemilu legislatif, atau leadership yang penuh dengan keraguan; barangkali itu beberapa alasan yang patut untuk dianalisa dan dicarikan solusi pemecahannya.


Partai apapun yang akan ditendang keluar dan yang akan ditarik dijadikan kawan koalisi baru; siapapun menteri yang akan dicopot dan yang diajak masuk kabinet yang akan datang, harus bisa memberikan solusi terhadap aneka persoalan dan tantangan di masa depan. Bangsa ini sudah cukup kenyang dengan janji-janji tanpa realisasi. Sungguh kita memerlukan seorang pemimpin yang punya visi kuat dan bukan seorang pemimpin yang bermodalkan mimpi untuk meningkatkan martabat bangsa dan negara menuju ke skenario global. Kita tidak lagi perlu menghujat kepemimpinan maupun warisan kegagalan masa lalu ataupun yang terjadi sekarang. Kita semua adalah bagian dari masa lalu dan tidak bisa lepas dari beban sejarah masa lalu juga. Sudah sepatutnya kita memaafkan kesalahan pemimpin-pemimpin kita, meskipun tidak mudah bagi kita untuk melupakannya begitu saja. Negara dan bangsa ini sudah selayaknya dikelola dengan lebih baik, jujur dan tidak dipenuhi dengan cerita bohong lagi. Apapun yang telah diwariskan oleh rezim masa lalu adalah ”assets” bangsa yang harus dikelola secara lebih efektif-efisien. Jangan sampai setiap kali ganti kekuasaan, ganti menteri, dll; kita harus memulainya dari nol lagi. Siapapun yang terpilih jadi anggota kabinet baru harus mampu meneruskan semangat reformasi dan perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik. Lebih demokratis dan berkeadilan. It’s time for changing.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar