Kamis, 06 Januari 2011

Politik, Profesi dan Kode Etik: Apakah Politisi Merupakan Profesi yang Memerlukan Kode Etik?

Tuhan menciptakan neraka saja orang tidak takut untuk melanggarnya, apalagi sekedar Kode Etik buatan manusia yang hanya memberikan sangsi moral dan sosial yang nampak tidak efektif bagi sebagian besar manusia yang sudah tidak lagi memiliki budaya malu.



Profesi adalah “sebuah pekerjaan yang yang dilakukan sebagai nafkah hidup dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi dan dengan melibatkan komitmen pribadi (moral) yang mendalam”. Seorang profesional tidak akan menjalankan pekerjaannya secara asal-asalan, pengisi waktu senggang, atau sekadar untuk menyalurkan “hobby” belaka. Demikian juga aktivitas yang dikerjakan atas dasar hobby sulit dituntut suatu pertanggung-jawaban moral manakala tidak menunjukkan hasil yang memuaskan dan relatif tidak memberikan dampak yang terlalu serius bagi kehidupannya atau kehidupan pihak lain. Profesi memang sebuah pekerjaan yang bisa digunakan untuk memperoleh nafkah bagi kehidupan, akan tetapi kelahiran sebuah profesi awal mulanya lebih didorong oleh semangat pengabdian untuk melayani masyarakat. Tidak sekedar untuk memperoleh upah, sebuah profesi mempunyai tuntutan yang tinggi, bukan saja dari luar (pihak pemberi pekerjaan) melainkan juga dari dalam diri manusia yang memiliki profesi tersebut. Tuntutan itu tidak saja bersangkut-paut dengan keahlian dan keterampilan, melainkan juga komitmen moral, tanggung jawab (profesional), keseriusan, disiplin, idealisme, kehormatan, dan integritas pribadi.

Ada beberapa ciri utama dari sebuah profesi --- yang sekaligus diharapkan bisa dimiliki oleh seorang profesional --- yang dapat ditunjukkan sebagai berikut (Keraf, 1998; Wignjosoebroto, 1999) (a) Pertama, ciri diperlukannya keahlian dan keterampilan khusus. Profesi selalu menuntut adanya keahlian dan keterampilan tertentu yang dimiliki (dikuasai) oleh seorang profesional agar bisa menjalankan pekerjaannya dengan baik. Keahlian dan keterampilan tersebut biasanya akan diperoleh melalui pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang berdimensi waktu panjang dan seleksi ketat. Berdasarkan latar belakang pendidikan, pelatihan dan pengalaman tersebut akan memungkinkan seorang profesional untuk bisa menyelesaikan tugasnya dengan tingkat keberhasilan yang exellent, waktu yang cepat dan mutu pekerjaan yang tinggi; (b) Kedua, ciri diperlukannya komitmen moral tinggi. Komitmen moral ini biasanya dituangkan dalam bentuk aturan-aturan (kaidah norma) yang selanjutnya akan dijadikan rujukan dan pegangan bagi setiap orang didalam menjalankan aktivitas profesinya. Suatu pekerjaan akan diklasifikasikan sebagai profesi, manakala dalam penyelesaiannya melibatkan komitmen moral yang tinggi dari pelaksana pekerjaan tersebut. Oleh karena itu semua pekerjaan ataupun aktivitas yang bertentangan dengan etika moral tidak bisa disebut sebagai sebuah profesi dan tidak sepantasnya para pelaku pekerjaan tersebut menyebut dirinya sebagai profesional; (c) Ketiga, ciri diperlukannya identitas dan image kebanggaan terhadap profesi. Seorang profesional akan menggantungkan nasib dan kehidupannya --- termasuk kehidupan keluarganya --- demi dan dari profesi yang dimiliki. Profesi secara langsung juga akan memberikan identitas dan image bagi seseorang; dan hal tersebut menyadarkan seseorang untuk bangga dengan dirinya berkat dan melalui profesi yang telah memberi peran dan status sosial tertentu di masyarakat; (d) Keempat, ciri diperlukannya idealisme serta semangat pengabdian dan pelayanan untuk kepentingan masyarakat (orang banyak). Seorang profesional akan menempatkan kepentingan orang lain diatas kepentingannya sendiri. Dalam hal ini pengertian pengabdian dan pelayanan tidaklah harus diberikan dengan cuma-cuma, melainkan harus lebih didasarkan pada landasan nilai-nilai kehormatan (honor) dan keluhuran profesi itu sendiri; (e) Kelima, ciri diperlukannya izin (sertifikat praktek) untuk menerapkan profesinya. Seorang profesional --- khususnya yang menjalankan “profesi luhur” seperti dokter, guru, perawat kesehatan dan sebagainya --- yang dalam mempraktekkan keahlian dan keterampilannya akan menyangkut kepentingan orang banyak dan terkait dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan berupa keselamatan, kesehatan, keamanan, kelangsungan hidup, dan sebagainya; maka biasanya akan memerlukan semacam izin khusus (sertifikat) pada saat akan mempraktekkan keahlian dan kemahiran profesinya. Hal ini untuk memberikan perlindungan (baik dari segi hukum maupun komitmen etika-moral) bagi masyarakat terhadap praktek-praktek yang menyimpang dan penerapan profesi yang tidak becus; (f) Keenam, ciri diperlukannya organisasi (asosiasi) profesi dan kode etik profesi. Untuk menjaga dan melindungi keluhuran profesi, para profesional akan menghimpun diri dalam sebuah organisasi atau asosiasi (kumpulan masyarakat) profesi. Tugas pokok dari organisasi profesi ini adalah menjaga agar standard keahlian dan keterampilan tidak dilanggar, kode etik profesi dipatuhi, kepentingan masyarakat pengguna jasa profesi dilindungi dan sebagainya. Untuk maksud ini organisasi profesi akan membentuk semacam lembaga (dewan) kehormatan profesi yang beranggotakan orang-orang yang keahlian, keterampilan dan komitmen moral profesi maupun integritas pribadinya tidak diragukan lagi untuk menjaga keluhuran serta kehormatan profesi.


Bertitik-tolak dari enam ciri-ciri profesi tersebut diatas, dan kalau kemudian ada pertanyaan “apakah aktivitas politik bisa juga diklasifikasikan sebagai sebuah aktivitas dari sebuah profesi tertentu?”; demikian juga “apakah kegiatan politik itu bisa pula dianggap sebagai kegiatan profesi yang harus dilakukan secara profesional?”; maka terhadap kedua pertanyaan ini tersebut jawabannya bisa mudah-sederhana, tetapi juga bisa sulit untuk dijawab secara memuaskan. Terlebih-lebih bila dikaitkan dengan berbagai macam persoalan, praktek nyata, maupun penyimpangan yang banyak kita jumpai didalam aplikasi pengamalan profesi (politik praktis) di lapangan yang ternyata sangat jauh dari idealisme pengabdian maupun tegak-nya kehormatan diri (profesi). Seorang profesional haruslah memiliki integritas pribadi dan komitmen moral yang tinggi. Etika moral dalam hal ini akan menjadi dasar dari etika profesi. Prinsip ini akan mengharuskan seorang profesional didalam menjalankan tugas dan layanan profesi untuk senantiasa menjaga nama baik, martabat, citra, keluhuran dan kehormatan profesinya. Adanya prinsip integritas dan komitmen moral ini mengharuskan seorang profesional memiliki “budaya malu” dan tidak segan-segan untuk mundur manakala yang bersangkutan melakukan dianggap melakukan praktek-praktek yang menyimpang dari etika, norma, maupun nilai-nilai keluhuran dan kehormatan profesi.

Selanjutnya, apakah pelaku-pelaku dalam aktivitas politik (politikus) bisa diklasifikasikan juga sebagai mengemban tugas profesi? Apakah pilihan menjadi politisi (anggota legislatif) itu juga merupakan panggilan profesi? Kenyataannya sangat tidak mudah untuk mensejajarkan para politisi ini setara dengan profesi-profesi lain yang telah dikenali selama ini, seperti halnya dengan profesi dokter, guru, pengacara, dan sebagainya. Panggung politik yang semakin kompleks, keras dengan tingkat persaingan yang semakin ketat memang menuntut para pelaku politik untuk lebih profesional (perilaku) dan mengedepankan nilai-nilai profesionalisme (paham, idealisme) yang lebih dikedepankan. Dalam hal ini sikap profesional menjadi sebuah tuntutan yang harus dipenuhi, dan profesionalime lalu seakan menjadi keharusan. Permasalahannya kapan, dalam posisi apa dan dalam konteks yang bagaimana para pelaku politik ini bisa bersikap dan bertindak selayaknya seorang profesional ? Tantangan yang dihadapi seorang politikus lazimnya akan berorientasi pada perebutan kekuasaan dan/atau kursi jabatan. Hal ini sering mendorong para politisi untuk melakukan hal-hal yang justru jauh dari sikap profesional, norma maupun etika moral umum ? Prinsip menghalalkan segala cara seolah-olah sudah menjadi kelaziman dalam setiap kali terjadi pergolakan politik. Dunia politik seringkali digambarkan sebagai sebuah kehidupan yang “kotor” yang jauh sekali dengan nilai-nilai keluhuran dan kehormatan sebuah profesi. Orientasi untuk mendapatkan kekuasaan dan kursi jabatan, juga dijadikan sebagai obsesi yang dalam prakteknya akan banyak bertentangan dengan etos “pengabdian” maupun “pelayanan “ yang sepantasnya lebih dikedepankan oleh para profesional.

Berdasarkan pengertian bahwa tugas profesi lebih menekankan pada keahlian dan ketrampilan tinggi, sistem rekruitmen (seleksi ketat), serta komitmen moral yang mendalam; maka jelas aktivitas “kotor” yang sering dipraktekkan oleh para politisi, bukanlah pekerjaan yang sepantasnya dilakukan oleh seorang profesional. Kalau hal tersebut memang sudah menjadi perilaku dan budaya yang umum dipraktekkan, maka jelas politisi semacam itu tidak pantas mensejajarkan dirinya dengan para pelaku profesi (luhur) lainnya seperti dokter, guru, dan sebagainya (meskipun tidak menutup kemungkinan ada satu-dua orang diantaranya ada juga yang menyimpang).


Kesimpulannya politisi tidaklah bisa diklasifikasikan sebagai sebuah profesi (luhur), apabila ciri-ciri profesi (ada enam ciri seperti yang telah dijelaskan) tidak bisa terpenuhi. Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa ada pula sebagian pelaku politik yang tidak mau melakukan praktek- praktek “kotor”, tidak menghalalkan segala cara, tidak semata berorientasi pada mencari keuntungan materiil yang sebesar-besarnya untuk kepentingan diri atau kelompoknya, serta mau menghayati aktivitas politiknya sebagai sebuah profesi luhur yang memiliki etika dan ciri yang mengedepankan integritas moral yang tinggi. Kegiatan politik tidaklah berbeda dengan kegiatan profesi yang lain yang memerlukan bekal keahlian, keterampilan, serta komitmen moral bagi pelaku-pelakunya. Praktek-praktek “kotor” memang bisa saja memberi hasil dalam jangka pendek, akan tetapi dalam jangka panjang cara pengabdian seperti ini jelas tidak akan berkelanjutan. Dengan pertimbangan-pertimbangan semacam ini, maka bukannya tidak mungkin bahwa aktivitas politik-pun dapat menjadi sebuah profesi dalam pengertian yang sebenarnya. Cukup banyak pelaku politik yang tercatat berhasil sukses karena bekerja secara profesional tanpa harus ikut-ikutan bermain “kotor” .

Dari perbincangan mengenai profesi, sikap profesional dan paham profesionalisme seperti yang telah diuraikan, tampak jelas bahwa semua perbincangan tersebut tidak akan pernah lepas dari persoalan etika. Apakah etika, dan apakah etika profesi itu ? Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada; dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri. Tanpa etika profesi, apa yang semula dikenal sebagai sebuah profesi yang terhormat akan segera jatuh terdegradasi menjadi sebuah pekerjaan pencarian nafkah biasa (okupasi) yang sedikitpun tidak diwarnai dengan nilai-nilai idealisme dan ujung-ujungnya akan berakhir dengan tidak-adanya lagi respek maupun kepercayaan yang pantas diberikan kepada para elite profesional ini.

Didalam upayanya untuk mengatur perilaku kaum (elite) profesional agar selalu ingat, sadar dan mau mengindahkan etika profesi-nya; maka setiap organisasi profesi pasti telah merumuskan aturan main yang tersusun secara sistematik dalam sebuah kode etik profesi yang sesuai dengan ruang lingkup penerapan profesinya masing-masing. Kode etik profesi ini akan dipakai sebagai rujukan (referensi) normatif dari pelaksanaan pemberian jasa profesi kepada mereka yang memerlukannya. Seberapa jauh norma-norma etika profesi tersebut telah dipatuhi dan seberapa besar penyimpangan penerapan keahlian sudah tidak bisa ditenggang-rasa lagi, semuanya akan merujuk pada kode etik profesi yang telah diikrarkan oleh mereka yang secara sadar mau berhimpun kedalam masyarakat (society) sesama profesi itu. Kaum (elite) profesional memiliki semacam otonomi didalam mengatur dan mengendalikan dirinya sendiri. Menurut Harrris [1995] ruang gerak seorang profesional ini akan diatur melalui etika profesi yang distandarkan dalam bentuk kode etik profesi. Pelanggaran terhadap kode etik profesi bisa dalam berbagai bentuk, meskipun dalam praktek yang umum dijumpai akan mencakup dua kasus utama, yaitu (a) pelanggaran terhadap perbuatan yang tidak mencerminkan respek terhadap nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi oleh profesi itu. Memperdagangkan jasa atau membeda-bedakan pelayanan jasa atas dasar keinginan untuk mendapatkan keuntungan uang yang berkelebihan ataupun kekuasaan merupakan perbuatan yang sering dianggap melanggar kode etik profesi; dan (b) pelanggaran terhadap perbuatan pelayanan jasa profesi yang kurang mencerminkan kualitas keahlian yang sulit atau kurang dapat dipertanggung-jawabkan menurut standar maupun kriteria profesional. Tak pelak lagi, kode etik profesi akan bisa dijadikan sebagai acuan dasar dan sekaligus alat kontrol internal bagi anggota profesi; disamping juga sebagai alat untuk melindungi kepentingan masyarakat dari perbuatan- perbuatan yang tidak profesional.

Permasalahannya apakah kaum politisi ini menyadari kalau panggung politik
adalah ranah pengabdian yang disamping harus mengindahkan segala macam aturan, tetapi juga etika. Adanya Dewan Kehormatan di lembaga DPR/DPRD yang dibentuk bukan hanya mengatur tetapi juga sekaligus mengawasi perilaku anggota yang menyimpang dari norma etika maupun moral yang ada. Apa-apa yang telah marak terjadi belakangan ini (khususnya yang terkait dengan praktek-praktek politik uang) sudah sampai pada taraf yang sangat memuakkan dan tidak cukup dikontrol dengan keberadaan Dewan Kehormatan.

Referensi :

Harris, J.R. and Charles, E. et.al. Engineering Ethics: Concepts and Cases. Belmont: Wadsworth Publishing Company, 1995.

Keraf, Sonny. Etika Bisnis : Tuntutan dan Relevansinya. Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1998.

Wignjosoebroto, Sritomo. Etika Profesional : Pengamalan & Permasalahan. Paper disampaikan dalam acara Diskusi “Perspektif Pembangunan Daya saing Global Tenaga Kerja Profesional”, Badan Kejuruan Mesin – Persatuan Insinyur Indonesia, tgl 1 Desember 1999 di Jakarta.

2 komentar:

  1. Patut untuk menjadi bahan renungan bersama: "Tuhan menciptakan neraka saja orang tidak takut untuk melanggarnya, apalagi sekedar Kode Etik buatan manusia yang hanya memberikan sangsi moral dan sosial"

    Renungan tambahan:

    AHLI IBADAH VS AHLI MAKSIAT

    Assalamu’alaikum wr. wb.

    Saudaraku…,
    Seorang ahli ibadah* mengatakan: “Sesungguhnya aku benar-benar takut, karena aku tidak tahu apakah aku bisa selamat dari api neraka. Oleh karena itu, aku senantiasa berupaya untuk selalu bertakwa** kepada-Nya, selalu berupaya untuk menjalankan semua perintah-Nya serta menjauhi semua larangan-Nya. Aku juga senantiasa berdzikir/ingat kepada-Nya serta setiap saat memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya”.

    Karena sesungguhnya Allah telah berfirman: “orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran”, (QS. Al A’laa. 10). ”dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk”. (QS. Ar Ra’d. 21).

    ”(Yaitu) orang-orang yang takut akan (azab) Tuhan mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari kiamat”. (QS. Al Anbiyaa’. 49).

    ”Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka”, (QS. Al Mu’minuun. 60).

    Saudaraku…,
    Di sisi lain, seorang ahli maksiat* dengan santainya mengatakan: ”Saya tidak terlalu khawatir dengan semuanya ini***. Bukankah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang...???”.

    ***) Yang dimaksud dengan: (tidak terlalu khawatir dengan semuanya ini)*** adalah semua perbuatan maksiat yang telah, sedang dan akan dilakukannya.

    Saudaraku…!!!
    Betapa ringannya ahli maksiat* tersebut mengatakan bahwa Allah adalah Maha Pengampun dan Penyayang, sementara pada saat yang sama dia terus dan terus bermaksiat kepada-Nya. Padahal, Allah telah berfirman dalam Al Qur’an: ”Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah**** dan bertakwa** kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan”. (QS. An Nuur. 52).

    Semoga bermanfaat!

    NB.
    ****) Yang dimaksud dengan: takut kepada Allah**** ialah takut kepada Allah disebabkan dosa-dosa yang telah dikerjakannya, dan yang dimaksud dengan takwa** ialah memelihara diri dari segala macam dosa-dosa yang mungkin terjadi, yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, tidak cukup diartikan dengan takut saja.

    Sedangkan yang dimaksud dengan ahli ibadah* ialah orang yang dalam hidupnya senantiasa menjalankan ibadah dengan baik, dan yang dimaksud dengan ahli maksiat* ialah orang yang dalam hidupnya senantiasa bergelimang dengan kemaksiatan.

    BalasHapus
  2. Ya… Rabbi,
    Jagalah kami, sehingga kami senantiasa berada di bawah naungan ridlo-Mu.

    Ya… Rabbi,
    Tunjukilah kami, sehingga kami senantiasa dapat menjaga cahaya kebenaran ini (setelah pengetahuan datang kepada kami) hingga akhir hayat kami.

    “... "Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu". (QS. At Tahriim. 8).

    'Ya Allah, tetapkanlah hatiku diatas agama-Mu.' (HR. Ahmad, Ibnu Majah).

    Amin…,
    Ya rabbal ‘alamin!

    BalasHapus